Dalam kajian ulumul hadits, salah satu topik yang sangat penting adalah macam-macam hadits dhaif.
Hadits dhaif memiliki tempat dalam kajian Islam, khususnya dalam konteks motivasi atau sebagai pelengkap, bukan sebagai dasar hukum.
Mengapa demikian?
Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai macam-macam hadits dhaif, dari mudhtarib hingga mu’allal, serta mengkritisi metode dan pendekatan yang digunakan dalam ulumul hadits untuk menilai hadits-hadits tersebut.
Macam-Macam Hadits Dha’if
Apa Itu Hadits Dhaif?
Hadits adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan yang dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam.
Namun, tidak semua hadits dapat dijadikan sumber hukum atau pedoman hidup. Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria keabsahan yang ditetapkan dalam ilmu hadits.
Sebuah hadits dianggap dhaif jika terdapat kelemahan pada sanad (rantai perawi) atau matan (isi hadits) yang mengurangi keandalannya.
Hadits dhaif tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum yang mengikat, tetapi bisa digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk memotivasi kebaikan atau menyarankan amalan sunnah yang tidak berkaitan langsung dengan hukum wajib atau larangan.
Baca: Apa Itu Hadits? Defenisi + Panduan Lengkap Memahami Sunnah Nabi
Macam-Macam Hadits Dhaif Berdasarkan Sanad dan Matan

Meskipun hadits dhaif tidak dapat dijadikan sumber hukum utama, pemahaman terhadap macam-macam hadits dhaif dapat membantu kita dalam menghindari kesalahan interpretasi dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa jenis hadits dhaif yang perlu dipahami dalam kajian hadits.
1. Hadits Mudhtarib
Hadits mudhtarib adalah hadits yang mengandung perbedaan atau ketidaksesuaian dalam sanad atau matannya.
Ketidaksesuaian ini terjadi ketika terdapat riwayat yang saling bertentangan antara satu perawi dengan yang lainnya, sehingga menyebabkan kebingungannya dalam menyampaikan pesan yang konsisten.
Hadits mudhtarib dianggap lemah karena perbedaan riwayat dari perawi yang sama, seperti dalam satu riwayat Nabi Muhammad SAW mengatakan “A,” tetapi di riwayat lain mengatakan “B” yang bertentangan.
Hadits mudhtarib menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penyampaian hadits yang tidak dapat diandalkan sebagai sumber ajaran yang sahih. Oleh karena itu, hadits seperti ini perlu diperiksa dengan cermat sebelum digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Hadits Mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang mengandung cacat tersembunyi, baik dalam sanad maupun matannya. Walaupun tampak sahih pada pandangan pertama, kajian mendalam mengungkapkan adanya kelemahan yang tersembunyi yang bisa memengaruhi validitas hadits tersebut.
Hadits yang tampak sahih dengan sanad jelas bisa menjadi lemah setelah diteliti, jika ditemukan perawi tak dikenal atau matan yang tidak sesuai dengan konteks sejarah. Contohnya, hadits yang menyebut Nabi SAW mengatakan “A,” tetapi situasi tersebut tidak pernah terjadi.
Hadits mu’allal perlu diwaspadai, karena cacat tersembunyi dalam sanad atau matan dapat menyebabkan hadits ini tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sah. Kajian lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengetahui apakah hadits tersebut bisa diterima atau tidak.
3. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang dianggap lemah karena adanya perawi yang tidak dapat dipercaya atau terdapat perbedaan yang signifikan dengan hadits shahih lainnya. Hadits ini sering kali bertentangan dengan hadits yang lebih kuat dan lebih diterima.
Hadits munkar adalah hadits yang bertentangan dengan hadits shahih yang lebih kuat atau memiliki perawi yang meragukan. Misalnya, satu hadits menyebut Nabi SAW mengatakan “A,” tetapi hadits shahih lain menyebut beliau mengatakan “B,” yang jelas bertentangan.
Hadits munkar merupakan hadits yang harus dihindari dalam pengambilan hukum atau pedoman hidup, karena adanya ketidaksesuaian dengan ajaran yang lebih kuat dan sahih.
4. Hadits Mawquf
Hadits mawquf adalah hadits yang hanya sampai pada sahabat atau tabiin, bukan sampai pada Nabi Muhammad SAW. Hadits ini berupa perkataan atau perbuatan sahabat yang tidak disandarkan langsung kepada Nabi.
Hadits mawquf adalah perkataan sahabat yang bukan wahyu, seperti ketika seorang sahabat berkata, “Nabi SAW mengatakan demikian,” tetapi sebenarnya itu pendapat pribadinya. Meski bukan wahyu, hadits ini tetap berguna dalam memahami praktik sahabat.
Hadits mawquf, meskipun berasal dari sahabat yang mulia, tidak dapat dijadikan pedoman utama dalam hal hukum, karena tidak langsung berasal dari Nabi Muhammad SAW. Namun, ia tetap memiliki nilai sebagai pandangan sahabat atau tabiin yang dapat memperkaya pemahaman Islam.
Metode dan Pendekatan Hadits Dhaif dalam Ulumul Hadits

Dalam ulumul hadits, pemahaman yang mendalam terhadap hadits dhaif sangat penting untuk menghindari penyalahgunaan hadits yang lemah dalam kehidupan sehari-hari.
Hadits dha’if, meskipun tidak bisa dijadikan sumber hukum utama, tetap memiliki tempat dalam kajian ilmiah, terutama dalam konteks yang tidak berkaitan langsung dengan hukum wajib.
Untuk memastikan hadits dha’if digunakan dengan tepat, para ulama menggunakan berbagai metode dan pendekatan dalam menganalisis sanad (rantai perawi) dan matan (isi) dari hadits tersebut.
- Ilmu Musthalah Hadits: Ilmu Musthalah Hadits adalah ilmu yang mempelajari istilah-istilah yang digunakan dalam hadits dan kriteria-kriteria yang diperlukan untuk menilai keabsahan sanad dan matan.
Dalam ilmu ini, hadits dha’if dapat dikenali melalui perbandingan terhadap riwayat-riwayat lain dan analisis perawi yang terlibat dalam sanad. - Ilmu Jarh wa Ta’dil: Ilmu ini digunakan untuk menilai kredibilitas para perawi dalam sanad. Dalam konteks hadits dha’if, jika terdapat perawi yang tidak dapat dipercaya atau memiliki catatan buruk, maka hadits tersebut dianggap lemah.
Ilmu ini juga digunakan untuk menilai apakah suatu perawi memiliki ingatan yang baik, integritas moral, dan kesesuaian dengan standar yang ditetapkan dalam ilmu hadits. - Analisis Matan: Menganalisis matan adalah pendekatan yang melibatkan pemeriksaan isi hadits untuk memastikan bahwa tidak ada kontradiksi dengan ajaran Al-Qur’an atau hadits-hadits shahih lainnya.
Matan yang lemah atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tidak dapat diterima meskipun sanadnya tampak sahih.
Dengan menggunakan pendekatan seperti ilmu musthalah hadits, jarh wa ta’dil, dan analisis matan, kita dapat memastikan bahwa hadits yang diterima sesuai dengan standar ilmiah yang ketat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Macam-macam hadits dhaif memberikan wawasan yang sangat penting dalam memahami bagaimana hadits dinilai dalam ulumul hadits.
Meskipun hadits dha’if tidak dapat dijadikan sumber hukum utama, pemahaman yang mendalam mengenai berbagai jenis hadits dhaif seperti mudhtarib, mu’allal, munkar, dan mawquf sangat penting untuk menjaga keaslian ajaran Islam.
Kajian kritis terhadap sanad dan matan membantu umat Islam untuk memilah hadits-hadits yang sahih dan yang lemah, sehingga ajaran Nabi Muhammad SAW dapat diterima dengan tepat dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang benar.